Budaya dan Bahasa Sastra
Definisi Budaya
Kata budaya boleh jadi adalah kata yang kerap didengar dan mudah diucapkan, namun sulit untuk didefinisikan. Saat budaya didefinisikan, apa yang muncul adalah keragaman pemaknaan berdasarkan sudut pandang tertentu, dari sosiologi, antropologi, hingga linguistik. Maka janganlah heran apabila kata budaya menjadi salah satu kata yang sulit untuk didefinisikan, yang menurut pandangan Barker (2008) dianggap tidak memiliki makna yang “benar dan definitif”.
Salah satu definisi budaya yang sekiranya mampu merangkum definisi yang telah berkembang adalah yang diutarakan oleh Moran (2001). Budaya, menurutnya, adalah cara hidup sekelompok manusia yang terus berubah, yang terdiri dari seperangkat praktik yang berkaitan dengan seperangkat produk, yang didasarkan pada seperangkat perspektif, dan terjadi pada konteks sosial tertentu. Definisi ini melihat budaya terbentuk dari lima dimensi yang saling berkaitan yaitu: produk, praktik, perspektif, masyarakat, dan individu. Kelima dimensi ini, menurut Moran (2001) terwujud dalam sebuah model: ada yang terlihat dan ada yang tersembunyi, ibarat bongkahan es di laut, bagian atasnya terlihat jelas sementara bagian bawahnya terendam air. Definisi ini menyiratkan pula bahwa budaya itu bersifat dinamis, berkaitan dengan masa lampau namun terus bergerak maju dan berubah. Kedinamisan budaya ini erat kaitannya dengan sifat manusia yang secara aktif mengubah produk, praktik dan masyarakat dimana budaya tersebut berada.
Budaya dan Bahasa Sastra
Bahasa seringkali dianggap sebagai produk dari budaya. Di lain pihak, terbentuknya budaya tak dapat dilepaskan dari peran dominan bahasa. Fishman (dikutip dari Risager, 2006) merumuskan tiga keterkaitan erat antara bahasa dan budaya dengan menyatakan bahwa bahasa merupakan “bagian”, “index”, dan “simbolik” budaya. Sebagai “bagian” dari budaya, bahasa berperan penting sebagai jembatan dalam pemahaman budaya, terutama bagi mereka yang ingin belajar banyak mengenai budaya tersebut. Sebagai “index” budaya, bahasa mengungkap cara berpikir atau pengorganisasian pengalaman dalam budaya tertentu. Sebagai “simbolik” budaya, pergerakan dan konflik bahasa mendayagunakan bahasa sebagai simbol untuk memobilisasi populasi dalam mempertahankan (atau menyerang) dan mendukung (atau menolak) budaya-budaya yang berkaitan dengannya. Dalam melihat keterkaitan antara bahasa dan budaya, Kramsch (1998, dikutip dari Risager 2006) melihat bahasa dalam fungsinya untuk mengekspresikan, menampilkan, dan menyimbolkan realitas budaya. Dengan menggunakan bahasa, manusia tidak hanya mengartikulasikan pengalaman, fakta-fakta, ide dan kejadian kepada satu sama lain, tetapi menyampaikan pula sikap, kepercayaan, dan sudut pandang. Bahasa menampilkan juga realitas budaya dengan membantu manusia menciptakan pengalaman. Pengalaman tersebut menjadi bermakna pada saat bahasa menjadi medianya. Masih menurut Kramsch (1998, dikutip dari Risager 2006), pengalaman budaya juga disimbolkan oleh bahasa. Bahasa menjadi simbol budaya karena, sebagai sebuah sistem tanda, bahasa mengandung nilai budaya. Manusia mampu mengenal dan membedakan satu sama lain sedikit banyak melalui proses pengamatan terhadap cara penggunaan bahasanya. Memahami keterkaitan antara bahasa dan budaya menjadi penting dalam pengajaran bahasa kedua dan bahasa asing.
Komentar
Posting Komentar