Gelisah Itu Anugerah..
seringkali saya dihampiri pertanyaan-pertanyaan “untuk apa semua ini?, Apakah makna hidup saya? Kenapa hidup saya terasa datar saja, berputar-putar dari hari ke hari? Hanya pergantian episode senang dan sedih? Mengapa saya seperti dikuasai oleh kehidupan saya?’ pun sering muncul di hati saya. Allah terkadang membuat kita terus menerus gelisah, atau terus menerus mempertanyakan ‘Siapa diri saya ini sebenarnya? Apa tujuan saya? Apa makna kehidupan saya?,’ dan sebagainya.
Bukankah kegalauan semacam ini adalah sebuah seruan, panggilan supaya kita mencari kesejatian? Mencari kebenaran? Mencari ‘Al-Haqq’? Allah akan selalu menurunkan pancingan-pancingan pada manusia untuk mencari-Nya. Sebenarnya, Allah setiap saat ‘memanggil-manggil’ kita untuk kembali kepada-Nya. Dengan cara apa saja, dengan kasih sayang-Nya. Dia terkadang membuat suasana kehidupan seorang anak manusia sedemikian rupa sehingga kalbunya dibuat-Nya ‘menoleh’ kepada Allah.
Hanya saja, teramat sedikit orang yang mendengarkan, atau berusaha mendengarkan, panggilan-Nya ini. Apakah seseorang percaya kepada-Nya atau tidak, beragama atau tidak, Dia tidak pandang bulu. Apakah seseorang membaca kitab-Nya atau tidak, percaya pada para utusan-Nya ataupun tidak, semua orang pernah dipanggil-Nya dengan cara seperti ini. Setiap orang pasti dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari kesejatian, untuk mencari hakikat kehidupan.
Berapa orang, sahabat, yang masih mau mendengarkan kegelisahannya sendiri? Padahal kegelisahannya itu merupakan cerminan jiwa yang menjerit yang tidak ingin terkubur dalam kehidupan dunia. Dalam hal ini, jika kita masih saja gelisah mencari makna kehidupan, mencari Al-Haqq, maka kegelisahan kita merupakan hal yang perlu disyukuri.
Hati yang ‘menjerit’ ingin mencari Al-Haqq, dan hakikatnya terkadang naik ke permukaan dalam bentuk kegelisahan. Contohnya Jika anak kita menangis karena lapar, apakah kita akan pergi bersenang-senang untuk melupakannya, dan berharap anak kita akan berhenti menangis dengan sendirinya? Bukankah seharusnya kita mencari tahu, kenapa anak kita menangis?
Sayang, sebagian orang segera membantai kegelisahannya, justru pada saat ketika ia timbul karena secara psikologis hal ini memang terasa tidak nyaman. Maka untuk melupakannya, ia semakin menenggelamkan diri lebih dalam lagi dalam pekerjaannya, kesibukannya, bersenang-senang, atau berdalih menutupi kegelisahannya dengan berusaha lebih lagi mencintai istri dan anak, atau keluarga, menenggelamkan diri dalam keasyikan hobi… dan sebagainya. Jeritan jiwanya tersebut ia timbun dengan segala cara.
Pertanyaan yang juga terkadang tersirat dalam hati yang gelisah, Beranikah kita jujur pada diri kita sendiri: Jika qur’an benar, mengapa kegelisahannya tidak hilang? Mengapa qur’an seperti kitab suci yang tidak teratur susunannya? Mengapa ayatnya kadang melompat-lompat, dari satu topik ke yang lainnya secara mendadak? Jika kita beriman, apakah iman itu? Apakah takwa itu? Jalan yang lurus yang bagaimana? Mengapa qur’an terasa abstrak dan tak terjangkau makna sebenarnya? Ini sebenarnya pertanyaan-pertanyaan jujur, dan sama sekali bukan menghakimi qur’an.
[Q.S. 56] “Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia (77). Pada kitab yang terpelihara (78). Dan tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan/ Al-muthahharuun (79).”
Komentar
Posting Komentar